Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, dengan tegas membantah adanya informasi yang menyebutkan bahwa Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) memberikan wewenang kepada aparat kepolisian untuk melakukan penyadapan tanpa izin dari pengadilan. Ia mengungkapkan, banyak berita yang beredar tentang kebijakan baru ini, termasuk perihal pembekuan tabungan secara sepihak oleh polisi.
Habiburokhman menjelaskan bahwa isu ini muncul dari salah paham terkait ketentuan RKUHAP yang sebenarnya diatur dengan ketat. Hal ini penting untuk diluruskan agar masyarakat tidak terjebak dalam kabar yang tidak benar dan memahami bagaimana perlindungan hukum yang benar dalam proses peradilan.
Dalam keterangannya pada Selasa (18/11), Habib menekankan bahwa ketentuan mengenai penyadapan diatur dalam Pasal 136 ayat (2) RKUHAP. Meski demikian, rincian lebih spesifik terkait penyadapan akan diatur dalam undang-undang terpisah mengenai penyadapan yang akan dibahas setelah RKUHAP disahkan.
Pengaturan Penyadapan dan Pemblokiran dalam RKUHAP
Sementara itu, dalam RKUHAP terdapat ketentuan mengenai pemblokiran, yang tertera pada Pasal 139 ayat (2). Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa semua jenis pemblokiran, termasuk pemblokiran terhadap tabungan dan jejak digital, harus mendapatkan izin dari hakim. Ini menunjukkan adanya pengawasan yang ketat terhadap tindakan aparat kepolisian.
Pasal 44 yang baru juga menyatakan bahwa semua bentuk penyitaan harus dilakukan dengan izin dari ketua pengadilan negeri. Hal ini menegaskan pentingnya proses hukum yang sah dan transparan bagi setiap tindakan hukum yang diambil oleh aparat.
Habib menambahkan bahwa naskah RKUHAP yang dihasilkan dari pembahasan bisa diakses oleh publik melalui situs resmi DPR. Selain itu, rekaman pembahasan mengenai RKUHAP juga dapat disaksikan di kanal YouTube DPR, memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk lebih memahami isi undang-undang tersebut.
Progress RKUHAP dan Rapat Paripurna DPR
DPR RI direncanakan akan menggelar rapat paripurna untuk mengesahkan RKUHAP menjadi undang-undang. Rapat tersebut telah dibuka oleh Ketua DPR, Puan Maharani, dan diharapkan dapat mencapai keputusan final mengenai rancangan ini.
Panitia Kerja (Panja) RKUHAP di Komisi III DPR sebelumnya telah menyepakati untuk membawa RUU tersebut ke rapat paripurna. Ini menunjukkan adanya dukungan solid dari berbagai fraksi untuk segera mengesahkan RKUHAP demi pembaruan hukum yang lebih baik.
Tidak hanya itu, semua fraksi di Komisi III DPR juga sepakat agar RKUHAP disetujui menjadi undang-undang. Mereka merasakan urgensi untuk memperbarui sistem hukum yang sudah lama tidak mengalami revisi sejak disahkan pada tahun 1981 di masa pemerintahan Presiden Soeharto.
Pentingnya Pembaruan KUHAP dan Isi RKUHAP
Pembaruan KUHAP adalah langkah penting untuk menyesuaikan prosedur hukum acara pidana dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru. Beberapa bagian dalam revisi ini mengatur perbaikan wewenang penyelidik dan penyidik serta penuntut, sekaligus memberikan perlindungan yang lebih baik bagi hak-hak tersangka dan terdakwa.
Upaya untuk memperkuat peran advokat juga menjadi salah satu fokus dalam pemeriksaan RKUHAP. Hal ini berguna untuk memastikan bahwa tersangka memiliki akses yang memadai terhadap advokasi hukum dalam setiap tahap proses peradilan.
Namun, meskipun ada progres ini, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP menyatakan penolakan terhadap rencana pengesahan RKUHAP. Mereka berpendapat bahwa proses pembahasan yang dilakukan dianggap cacat formil dan tidak memenuhi kaidah hukum yang berlaku.
















