Kemunculan kasus penipuan digital di Indonesia saat ini menjadi perhatian serius. Indonesia Fintech Society (IFSoc) menyoroti bahwa kesenjangan antara literasi keuangan dan inklusi keuangan berkontribusi pada permasalahan ini, penipuan semakin marak seiring dengan meningkatnya penggunaan layanan keuangan digital oleh masyarakat.
Dalam sebuah acara di Jakarta, Tirta Segara dari IFSoc menjelaskan bagaimana kondisi masyarakat yang belum sepenuhnya melek literasi keuangan membuat mereka rawan menjadi korban penipuan. Meskipun inklusi keuangan di Indonesia telah mencapai lebih dari 80 persen, literasi keuangan hanya mencakup sekitar 66 persen dari populasi.
Situasi ini menjadi lebih memprihatinkan dengan adanya data dari Indonesia Anti Scam Center (IASC) yang menunjukkan bahwa 66 persen warga Indonesia pernah mengalami penipuan. Dengan rata-rata 55 upaya penipuan per orang setiap tahunnya, tingkat kerentanan masyarakat terhadap scam menunjukkan angka yang signifikan.
Perkembangan dan Dampak Penipuan Digital di Indonesia
Data menunjukkan bahwa transfer bank adalah metode pembayaran favorit bagi pelaku penipu di Indonesia. Setelah itu, dompet digital atau e-wallet mengikuti sebagai platform yang banyak digunakan untuk melakukan penipuan.
Platform komunikasi seperti aplikasi pesan instan dan panggilan telepon menjadi sarana yang umum dipakai oleh penipu. Karenanya, masyarakat perlu lebih berhati-hati saat bertransaksi di kedua platform ini.
Pemulihan dana dari kasus penipuan menjadi tantangan tersendiri. Tirta mengungkapkan bahwa kecepatan transfer dana menjadi salah satu faktor kunci dalam kesulitan pelacakan rekening yang telah digunakan untuk penipuan.
Menghadapi Tantangan dalam Penanganan Penipuan
Setelah transfer dilakukan, dana tersebut bisa berpindah menjadi berbagai lapis rekening dalam waktu sangat cepat, yakni sekitar tujuh hingga delapan menit. Akibatnya, sangat sulit untuk merecover dana yang hilang dan membuat korban merasa putus asa.
Tercatat sejak November 2024, IASC menerima 360.541 laporan terkait penipuan dengan total kerugian mencapai Rp 8 triliun. Namun, jumlah dana yang berhasil diblokir hanya sekitar Rp 387,8 miliar, dan sebanyak 112.680 rekening telah diblokir sebagai langkah antisipasi.
Langkah-langkah yang diambil oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam menangani kasus fraud mendapatkan apresiasi dari IFSoc. Namun, IFSoc juga menyatakan perlu adanya perbaikan dalam koordinasi antar lembaga untuk meningkatkan kecepatan respon terhadap laporan korban.
Langkah-Langkah untuk Meningkatkan Keamanan Finansial
Pemanfaatan teknologi dalam penanganan kasus penipuan sangat penting untuk masa depan. IFSoc mendorong upaya penyederhanaan prosedur pelaporan dan pemulihan dana agar lebih efisien dan cepat.
Hambatan birokrasi setelah pemblokiran rekening sering kali memperlambat proses pengembalian dana kepada korban. Oleh sebab itu, tindakan proaktif perlu dilakukan untuk mempercepat semua langkah yang berkaitan dengan pemulihan dana yang hilang akibat penipuan.
Masyarakat juga diimbau untuk lebih aktif mendorong literasi keuangan agar lebih banyak orang memahami risiko yang ada. Ini akan membantu mengurangi risiko kerugian yang disebabkan oleh tindakan penipuan di dunia digital.
















